Sabtu, 17 Oktober 2015

Selamat Tinggal Mak Mi


           Aku terlahir dengan memiliki 4 orang tua, yaitu 2 orang ayah dan 2 orang ibu. Mungkin itu sangat aneh yaa, tapi itulah kenyataannya. Sejak bayi aku di asuh oleh orang lain yang sekarang telah menjadi orang tua angkatku. Kedua orang tua angkatku sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Bahkan mereka lebih menyayangiku dari pada anak mereka sendiri. Ibu angkatku kupanggil Mak Mi dan ayah angkatku ku panggil Pak Adi. Mereka memiliki tiga orang anak.
            Meski mereka lebih menyayangiku, tapi ketiga anak mereka tidak sedikitpun cemburu kepadaku. Bahkan mereka sudah menganggapku seperti adik mereka sendiri. Anak sulung Mak Mi biasa kupanggil  Mbak Sri, dan kedua adik laki-lakinya kupanggil Mas Hardi dan Mas Bambang. Kami sudah selayaknya saudara kandung yang saling menyayangi dan melindungi. Sungguh sempurna hidupku di masa itu.
            Tapi semua berubah seketika, ketika Mak Mi mengalami sakit keras yang tak kunjung sembuh. Mak Mi hanya bisa terbaring di atas tempat tidurnya. Aku sering menjenguknya dan sesekali aku memijat kakinya. Derai senyum selalu terpancar di wajah Mak Mi saat kedatanganku. Meski aku tahu, senyum Mak Mi itu palsu karena terlihat jelas di wajahnya bahwa beliau menahan sakit dan berusaha tegar di hadapanku. Karena Mak Mi tak kunjung sembuh, membuatku jadi bosan. Dan aku menjadi jarang menjenguk Mak Mi lagi.
            Sampai akhirnya aku menyesali semua perbuatanku itu. Di waktu matahari masih mengintip untuk muncul, dan aku masih tertidur. Dan tiba-tiba terdengar suara ayahku yang mencoba membangunkanku. Aku sangat kaget, dan lebih kagetnya lagi saat ayahku memberitahukan jika Mak Mi telah meninggal. Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan berlari ke rumah Mak Mi.
            Di sana, aku melihat Mak Mi yang terbaring kaku di atas tempat tidur. Air mata mengalir tetes demi tetes dari kelopak mataku.  Rasa marah, kesal, dan kecewa bercampur menjadi satu karena orang yang aku sayangi telah pergi dan tak akan kembali. Aku menangis tanpa henti di depan jenazah Mak Mi yang sudah kaku. Seharian aku tak mau jauh dari Mak Mi, bahkan aku tak berangkat sekolah karenanya. Aku tak mau makan, dan tak mandi. Jiwaku begitu terpukul, dan meratapi semua ini hingga berlarut-larut.
            Aku ikut serta dalam penguburan Mak Mi, walau masih dalam keadaan menangis. Mungkin ini adalah kehendak dari Allah, yang menginginkanku untuk lebih dewasa. Mak Mi memang sudah pergi, tapi Mak Mi akan tetap ada di dalam jiwaku. Aku tak akan melupakan semua jasa-jasa Mak Mi, dan semoga Mak Mi tenang di alam sana.

“selamat tinggal Mak Mi, semoga kau bahagia di surga”

Misteri Malam Petak Umpet


   Bintang-bintang indah menghiasi malam ini, dengan di iringi sinar rembulan yang melengkapi indahnya malam. Aku bergegas untuk pergi bermain petak umpet dengan teman-temanku. Letaknya agak jauh dari rumahku dan sangat sunyi. Jadi itu tempat yang cocok untuk bermain petak umpet.
            Setelah semuanya berkumpul, kami langsung mulai bermain. Yang jaga bersandar di pohon dan yang lainnya pergi ngumpet. “Untung aku gak jaga duluan” pikirku saat aku menang suit dengan temanku. Aku sih memang tidak jaga, tapi aku tertangkap terus ketika bersembunyi. Untung mbah Bejo bersamaku, jadinya meskipun aku tertangkap terus tapi aku tak pernah jaga hehehehe.
            Di waktu tertentu, aku merasa sangat bosan karena aku tertangkap pertama. “Huh kesal” seruku. Karena bosan, aku memutuskan untuk berkeliling sekitar lokasi tempat bermain tadi. Di tengah semak-semak, aku melihat sesosok tangan melambai di semak itu. “Pasti ada yang ngumpet di semak-semak itu” pikirku. Aku melihat di sekitarku, “wah mumpung yang jaga tidak ada, aku lihat aja yang sembunyi di sana” ucapku dalam hati.
            Aku memutuskun untuk melihat ke semak-semak. Aku telusuri semak-semak itu, tetapi tidak ada satu pun temanku di situ. “Git, ngapain di situ, sudah tertangkap semua nih” teriak temanku yang bernama Reza. Aku pun menjauh dari semak-semak untuk mendekatinya. Aku sangat heran dan sangat penasaran. “Hei, tadi ada yang ngumpet di semak-semak apa tidak” tanyaku kepada teman-temanku. “tidak ada tuh, di situ kan banyak ulat bulunya” jawab temanku yang bernama dicky “memang ada apa Git?” Tanya Dicky. “Oh, tidak ada apa-apa kok” jawabku. “Mungkin tadi Cuma halusinasiku” ucapku dalam hati.
            Sudah banyak pergantian penjaga telah terjadi, tetapi aku tidak pernah jaga. Sebagian temanku sudah pada pulang, yang tersisa tinggal lima orang. “Ya sudah ini yang terakhir ya, ayo suit lagi” kata temanku yang bernama Romi. Aduh sialan, di giliran yang terakhir aku malah jadi yang jaga. Aku pun mulai berhitung sampai sepuluh, dan mereka pun sudah bersembunyi di tempatnya masing-masing.
            Ku telusuri semua tempat, dan satu per satu teman-temanku telah tertangkap. Sekarang tinggal si Romi saja yang belum tertangkap. Langkahku tertuju pada sebuah pohon mangga yang biasa di jadikan tempat ngumpet. “Ada orangnya tidak ini?” ucapku di bawah pohon. Tiba-tiba terdengar suara erangan dari atas pohon “Grrrrrrr”. “Itu pasti Romi, turun lo” bentakku yang mengira ada Romi di atas pohon.
            Tidak ada reaksi apapun dari atas pohon “cepat turun, kalau tidak aku timpukin lho” bentakku memaksa. Tetap tidak ada jawaban, jadi aku mengimbil kerikil-kerikil di sekitr pohin. Dan kemudian aku lemparkan ke atas pohon mangga itu.
            Dari arah pohon tempat berhitung tadi, terdengar suara Romi memanggilku. “Gitt, aku udahan yaa…” teriaknya. “Kalau yang di sana Romi, yang di atas pohon ini siapa?” pikirku dalam hati. Aku langsung berlari menjauh dari pohon mangga itu menuju kearah teman-temanku yang belum pulang. Aku ceritakan semua yang tadi aku alami, tetapi tidak ada satu pun yang mempercayainya. Mereka malah menakut-nakuti aku.
            Sepanjang jalan pulang, aku terus kepikiran kejadian yang tadi aku alami. Hatiku tak henti bertanya-tanya “apa yang aku dengar di atas pohon tadi???”. Ketika sampai di biwah pohin mangga tadi, aku terus saja berjalan tanpa melihat pohon itu. Tiba-tiba, selembar daun menimpaku. Tanpa melihat keatas, aku langsung berlari kencang tanpa henti sampai di rumah. Huuh lega rasanya sudah sampai di rumah. Meski begitu, aku masih tetap penasaran “apa yang ada di pohon mangga tadi ya???”

“Sebuah misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini”

Si Gadis Berkerudung Biru


          Rembulan bersinar terang di tengah gulita malam. Hari ini aku berencana untuk pergi ke menara bersama Reza. Ku duduk menyendiri di teras rumahku, menunggu ia datang. Cukup lama aku menungg, akhirnya sebuah terpaan cahaya menyilaukan mataku. Ternyata Reza datang juga menggunakan motornya. "Lama sekali sih" bentakku sesampainya ia di hadapanku. Ia hanya tersenyum dan berkat "hehehe, sory sory". "Ya sudahlah, ayo berangkat" ajakku. "OK,boss" jawabnya yang memulai
memutar motornya dan kami pun berangkat.
          Dinginnya angin malam mengiringi perjalanan kami. Sepanjang perjalanan aku ngobrol dengan Reza. Dan tak terasa, kami sudah samapai di tempat tujuan. Tetapi antriannya panjang banget, ya maklumlah ini malam jum'at pasti ramai. Dengan penuh perjuangan akhirnya kami dapat masuk juga "uhh" keluhku.
          Kami langsung memarkirkan motor dan berjalan menuju ke makam sunan kudus untuk berziarah. Setelah selesai, kami pun menuju ke arah menara untuk duduk-duduk sejenak. Sambil duduk, sesekali kami saling melontarkan gurauan. Meski hanya berdua, tapi setidaknya kami dapat terhibur malam ini. "Git, kita jalan-jalan yuk !" ajak Reza. "Kemana ?" tanyaku "berkeliling sekitar sini" jawabnya.  "OK lah, dari pada dudak-duduk doang" ucapku setuju.
           Kami pun jalan-jalan berkeliling di sekita menara. Jejeran toko-toko tertata rapi di sepanjang tepi jalan. Ada sebuah toko soufenir yang menarik perhatian kami. Dan kami pun mampir sejenak untuk membeli sesuatu. Aku dan Reza membeli sebuah gelang yang berbeda. Gelang itu pun langsung kami pakai, dan melanjutkan
perjalanan kami.
          Tiba-tiba "krrrrk" suara perutku yang mulai memberontak. "Kamu laper tidak ?" tanyaku pada Reza. "Iya nih, kita beli makanan yuk !" ajaknya. Kami pun bergegas menuju ke tempat penjual makanan. Akan tetapi, setiap penjual yang kami datangi selalu di penuhi pembeli. "Adu...h, gimana nih git, penuh semua" resahnya. "Ya iyalah, kamu pikir kamu doang yang mau beli" bantahku.
          Hampir saja kami putus harapan, sebelum akhirnya kami tipa di sebuah penjual martabak. Di tempat itu cukup sepi dan hanya ada satu pembeli saat itu. Kami bergegas memesan martabak untuk mengisi amunisi perut kami. Pandanganku tertuju kepada cewek yang ada di sebelahku. Entah kenapa aku terus memperhatikan dia yang waktu itu menggunakan krudung biru.
          Secara tidak sengaja, mulutku mengeluarkan suatu kata dengan sendirinya. "Penjepitnya kok di pegangin terus sih mbak, gak hilang gak hilang" ucapku tanpa kusadari. Ia hanya tersenyum mendengar perkataanku itu sambil terus memegang penjempit martabak. Entah kenapa aku tak ingin melewatkan untuk memandang ia saat tersenyum.
          Tetapi penjual martabak itu mengacaukan pandanganku. Karena martabak yang ia goreng telah matang. Cewek itu terlihat bergesa-gesa mengambil martabak itu dan di masukannya pada kantong plastik. "Santai aja mbak gak usah buru-buru, kiamat masih lama kok" ucapku tanpa ku sadari lagi.
          Tiba-tiba datang 2 orang cewek yang mengagetkan cewek berkrudung biru itu. Tampaknya itu adalah temannya "oh jadi ini ya tingkahmu di belakangku" ejek salah satu temannya itu. "Ih apa sih" elak cewek krudung biru itu.
          Ia semakin tergesa-gesa untuk mengambil martabak. "Kenapa sih kok buru-buru, kan ada ..." kata salah satu temannya yang melirikan matanya ke arah aku & Reza. "Ih apaan sih, aku di suruh langsung pulang makanya aku buru-buru" balasnya.
          Ia membeli semua martabak yang telah matang itu. "Eh mbak, kok di ambil semua sih mau kamu jual lagi ya" sahutku. "Denger itu ris, mau kamu jual lagi ya" ejek salah satu temannya lagi. "Nih pak uangnya" cewek itu membayar dan berkata lagi "auah aku buru-buru"sambungnya.
          Ia langsung bergerak menjauh dengan membawa satu kantong martabak. Tak lama dari itu, martabakku juga telah matang. Aku taruh martabak itu di kantong plastik kemudian aku bayar dan kembali ke menara. Aku terus teringat dengan gadis kerudung biru itu. Belum sempat aku tanya namanya kok malah dah pergi duluan.
Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan si gadis berkrudung biru itu. Apa mungkin aku jatuh cinta padanya, tapi aku kan baru pertama kali bertemu. Masa bodoh lah, kalau dia memang jodohku pasti akan bertemu lagi.


“Aku menunggumu gadis misterius berkrudung biru”

Bunga Tulip Menjemput Senja


   Renita Winata Sari, itulah nama kekasih hatiku. Tetapi aku sering memanggilnya Rere. Dia adalah gadis yang cantik dengan kesederhanaan tampilannya. Meski ia tergolong gadis yang manja, tetapi ia sangat baik hati. Sore ini, Rere memintaku untuk pergi ke danau menemuinya. Aku heran kenapa sore-sore begini ia ingin bertemu denganku. Ya sudahlah, mungkin ia ingin memberiku sebuah kejutan.
   Kakiku memulai langkahnya menuju ke arah danau. Dengan harapan dapat bertemu dan ngobrol banyak bersama Rere. Terpaan angin berhembus perlahan menyambut kedatanganku. "Uh....segarnya angin di sore ini" tuturku sesampainya di danau. Ku pandangi setiap sudut danau, tapi aku tak melihat Rere di sekeliling danau. "Rere dimana ya????, seharusnya ia kan sudah ada di sini" fikirku heran.
   Pandanganku tettuju pada setangkai bunga tulip yang tergeletak di atas kursi kayu dekat danau. Langkah kakiku seolah-olah menuntunku kearah bunga tulip itu. Ku ambil dan ku genggam erat bunga tersebut di telapak tanganku. Hatiku bertanya-tanya "kenapa ada bunga tulip di tempat seperti ini????". "Oh iya, ini kan bunga kesukaan Rere, jangan-jangan aku terlambat dan ia sudah pergi dari sini" resahku. "Adu....h, Rere pasti marah kepadaku bagaimana ini" sambungku. Penyesalan dan rasa bersalah bersatu menggembur fikiranku. Dan seakan-akan setiap sudut di otakku terbakan tanpa tersisa. Ku pandangi mentari yang mulai meredup, dan kulampiaskan semua bebanku dengan berteriak "Rereeee......!!!!".
   Tiba-tiba, sebuah tangan mendarat di pundakku. Aku sangat terkejut karena hal itu. "Jangan-jangan yang di belakangku ini hantu danau yang marah karena aku tadi berteriak" pikirku. Keringat dingin mulai mengalir menjelajahi wajahku. Dan secara reflek aku pun melompat dengan sendirinya. "Ampun hantu danau ampuuuun, aku janji tidak akan berisik lagi di sini !!!!" rintihku. Kupingku merespon suara tawaan seseorang, yang tak asing lagi aku dengar. "Hahaha kamu kenapa git, lucu banget si kamu hihihi". Ku buka perlahan kedua telapak tanganku yang sedari tadi menghalangi pandanganku. Saat sudah terbuka seluruhnya, aku pun lega tetnyata iti Rere. "Oh kamu re, aku kirain hantu danau" tuturku. "Apa kamu bilang !!! aku hantu....huuh" bentaknya dengan cemberut.
   "Adu....h Rere kok malah marah sih, bagaimana ni" resahku dalam hati. Ku peras setiap inchi otakku untuk memikirkan cara menghibur Rere. Ku belai perlahan rambut indahnya dan berkata "iya kamu hantu, sesosok hantu cantik yang menghantui hati dan fikiranku" rayuku. Mendengar rayuanku, Rere pun akhirnya tersenyum dan berkata "alah gombal kamu git". "Oh iya, kamu tadi dari mana re" sambungku penasaran. "Emm??? Dari tadi mungkin wkwkwk" jawabnya sambil melet. "Kamu kok gitu sih, kalau tidak mau jawab ya udah aku diem aja" modusku. Aku langsung memalingkan muka dan diam tanpa berkata sedikit pun. "Tadi aku sudah ngerayu kamu re, sekarang giliran kamu yang harus ngerayu aku" pikirku nakal. "Ya elah, ceritanya kamu ngambek nih" ucapnya.aku hanya diam tanpa memperdulikan ucapannya. "Giii...t" ucapnya dengan manja "maafin aku ya!!!" pintanya dan aku tetep aja diem. "Jangan diem terus dong, aku sedih jika kamu seperti ini" ucapnya.
   Aku terus aja diem dan terus memalingkan muka dari Rere. Rere pun sudah tak terdengar lagi merayuku. Dan saat aku menoleh kearahnya, aku terkejut melihat Rere yang menangis tersedu-sedu di belakangku. "Adu....h, aku kok malah membuat Rere menangis sih" fikirku. "Jangan nangis re, aku tadi bercanda kok tidak marah betulan" ucapku mencoba untuk menenangkannya. Dengan bersedu-sedu Rere berkata "bener hkhkhk kamu gak marah? hkhkk". Wajahnya kian memerah dan air matanya tak henti-hentinya mengalir. Ku usap air matanya dan berkata "beneran, apa mungkin aku bisa marah kepada bidadariku yang imut ini". Rere memandangku sejenak dan langsung memeluk erat diriku. Ku belai lembut rambut indahnya dan berkata "udah jangan nangis lagi ya!!!" pintaku. Rere pun perlahan melepas pelukannya dan berkata "kamu harus janji dulu padaku, kamu jangan kaya gitu lagi" pintanya. "Aku gak kuat git jika kamu marah sama aku" sambungnya. "Iya aku janji , udah jangan nangis lagi ya" ucapku. "Oh iya, kamu tadi kan belum menjawab pertanyaanku" sambungku. Dengan wajah yang di basahi air mata ia menjawab "aku tadi mencari bunga tulip git". "Oh....tadi aku juga menemukan bunga tulip di sini" ucapku sambil menunjukkan bunga tulipku. "Ini bungaku git, sengaja aku tinggal di sini agar kamu menungguku" jelasnya. "Dan ini bunga yang barusan aku petik, cantik ya git" sambungnya sambil menunjukkan bunga tulipnya.
   "Sekarang....kita sudah memegang bunga tulipnya sendiri" tuturnya. "Terus bunga tulip ini mau kita apain???" tanyaku heran. Dengan tersenyum Rere berkata "lihat di sana git "ucapnya sambil menunjuk ke arah mentari yang mulai menyembunyikan wujudnya. Pandanganku pun tertuju ke arah yang di tunjukkan Rere. "Indah banget ya git" ucapnya sekali lagi. "Iya indah banget" jawabku yang seketika membuat wajah Rere memerah. Ia memegang telapak tanganku dan terus melihat seksama matahari terbenam itu. "Kalau aku sedang memandang matahari terbenam seperti ini, aku sering membayangkan tentang masa depan kita" tuturnya. "Dimana kita memandang senja bersama anak-anak kita nanti, pasti indah banget ya git" jelasnya.
   Aku pun terkejut mendengar apa yang barusan dikatan oleh Rere. "Maksut kamu apa re????" tanyaku. Rere tersenyum memandangku dan ia berkata "iya masa depan kita git, kamu mau kan menikah denganku" ajaknya. "Aku tidak bisa re!!!!" jawabku bersamaan dengan mentari yang terbenam dengan sempurna. Rere terlihat begitu kecewa mendengar ucapanku dan air matanya pun mulai mengalir lagi dari bola matanya. "Kenapa git, apa kamu sudah tidak mencitaiku lagi, apa sudah ada cewek lain ya" ucapnya kecewa. "Kamu jahat git, kamu tega sama aku, kenapa kita pertahankan hubungan kita ini lebih baik kit....". Dengan cepat aku memotong pembicaraannya dengan menutup mulutnya dengan jari telunjukku. "Aku tidak bisa re....aku tidak bisa menerima ajakanmu" jawabku. "Karena aku sendiri yang akan meminangmu re, malam nanti....aku dan keluargaku akan datang melamarmu, kamu mau kan menjadi kekasih halalku?" jelasku.
   Mendengar hal itu, Rere hanya terdiam memandangku. Dengan air mata yang semakin deras mengalir ia mengangguk pelan. Dan aku pun memeluk erat Rere "Re, jangan kau tunjukan satu hal padaku, yaitu tangismu dan jangan kau perdengarkan aku lirih tangismu, karena aku tak berdaya jika kau lakukan itu" ucapku. "Aku tahu apa alasannya kamu suka bunga tulip, pasti kamu ingin cinta kita seindah bunga tulip kan" sambungku. "Dan aku juga tahu alasan kamu mengajakku bertemu di waktu senja, pasti kamu ingin mengakhiri masa pacaran kita kan dan mengantinya dengan ikatan pernikahan seperti senja yang mengganti matahari menjadi rembulan, sama indahnya bukan" jelasku. Rere perlahan melepas pelukanku dan dengan sigap ia mengusap air matanya sendiri. "Senja bukanlah akhir git, karena selalu berulang di setiap harinya" tuturnya. "Bunga tulip juga bukanlah lambang keindahan, tetapi lambang keabadian" sambungnya. "Aku ingin cinta kita seperti bunga tulip menjemput senja, yang berjalan abadi menyusuri takdir dan tak pernah berakhir karena kan selalu terulang ke generasi kita yang berikutnya" jelasnya.
   Mendengar ucapan Rere itu, aku tak mampu lagi berkata apa-apa. Aku tak menyangka, seorang Rere yang manja bisa berbicara dengan begitu bijaknya. Tanpa berfikir panjang aku langsung memelunya dengan erat. Dan seakan-akan aku tak ingin ke hilangan sosok bidadari yang ada di hadapanku. "Re....aku sayang banget sama kamu" bisikku ke telinga Rere. "Aku juga sangat menyayangimu git" balasnya dengan lembut. Ku pandang wajahnya sejenak, dan ku daratkan ciumanku di keningnya. Dan kami pun pulang dengan perasaan yang bahagia.

"Bunga tulip hanyalah sebuah bunga, tidak dapat mewakili kebahagiaan atau pun keabadian. Karena kebahagiaan dan keabadian dapat tercipta jika kita bersama orang yang kita cintai"
(Sigit Wisnu Saputro)
(Sang Pangeran Marmut)

Translate