Renita Winata Sari, itulah nama kekasih hatiku. Tetapi aku sering memanggilnya Rere. Dia adalah gadis yang cantik dengan kesederhanaan tampilannya. Meski ia tergolong gadis yang manja, tetapi ia sangat baik hati. Sore ini, Rere memintaku untuk pergi ke danau menemuinya. Aku heran kenapa sore-sore begini ia ingin bertemu denganku. Ya sudahlah, mungkin ia ingin memberiku sebuah kejutan.
Kakiku memulai langkahnya menuju ke arah danau. Dengan harapan dapat bertemu dan ngobrol banyak bersama Rere. Terpaan angin berhembus perlahan menyambut kedatanganku. "Uh....segarnya angin di sore ini" tuturku sesampainya di danau. Ku pandangi setiap sudut danau, tapi aku tak melihat Rere di sekeliling danau. "Rere dimana ya????, seharusnya ia kan sudah ada di sini" fikirku heran.
Pandanganku tettuju pada setangkai bunga tulip yang tergeletak di atas kursi kayu dekat danau. Langkah kakiku seolah-olah menuntunku kearah bunga tulip itu. Ku ambil dan ku genggam erat bunga tersebut di telapak tanganku. Hatiku bertanya-tanya "kenapa ada bunga tulip di tempat seperti ini????". "Oh iya, ini kan bunga kesukaan Rere, jangan-jangan aku terlambat dan ia sudah pergi dari sini" resahku. "Adu....h, Rere pasti marah kepadaku bagaimana ini" sambungku. Penyesalan dan rasa bersalah bersatu menggembur fikiranku. Dan seakan-akan setiap sudut di otakku terbakan tanpa tersisa. Ku pandangi mentari yang mulai meredup, dan kulampiaskan semua bebanku dengan berteriak "Rereeee......!!!!".
Tiba-tiba, sebuah tangan mendarat di pundakku. Aku sangat terkejut karena hal itu. "Jangan-jangan yang di belakangku ini hantu danau yang marah karena aku tadi berteriak" pikirku. Keringat dingin mulai mengalir menjelajahi wajahku. Dan secara reflek aku pun melompat dengan sendirinya. "Ampun hantu danau ampuuuun, aku janji tidak akan berisik lagi di sini !!!!" rintihku. Kupingku merespon suara tawaan seseorang, yang tak asing lagi aku dengar. "Hahaha kamu kenapa git, lucu banget si kamu hihihi". Ku buka perlahan kedua telapak tanganku yang sedari tadi menghalangi pandanganku. Saat sudah terbuka seluruhnya, aku pun lega tetnyata iti Rere. "Oh kamu re, aku kirain hantu danau" tuturku. "Apa kamu bilang !!! aku hantu....huuh" bentaknya dengan cemberut.
"Adu....h Rere kok malah marah sih, bagaimana ni" resahku dalam hati. Ku peras setiap inchi otakku untuk memikirkan cara menghibur Rere. Ku belai perlahan rambut indahnya dan berkata "iya kamu hantu, sesosok hantu cantik yang menghantui hati dan fikiranku" rayuku. Mendengar rayuanku, Rere pun akhirnya tersenyum dan berkata "alah gombal kamu git". "Oh iya, kamu tadi dari mana re" sambungku penasaran. "Emm??? Dari tadi mungkin wkwkwk" jawabnya sambil melet. "Kamu kok gitu sih, kalau tidak mau jawab ya udah aku diem aja" modusku. Aku langsung memalingkan muka dan diam tanpa berkata sedikit pun. "Tadi aku sudah ngerayu kamu re, sekarang giliran kamu yang harus ngerayu aku" pikirku nakal. "Ya elah, ceritanya kamu ngambek nih" ucapnya.aku hanya diam tanpa memperdulikan ucapannya. "Giii...t" ucapnya dengan manja "maafin aku ya!!!" pintanya dan aku tetep aja diem. "Jangan diem terus dong, aku sedih jika kamu seperti ini" ucapnya.
Aku terus aja diem dan terus memalingkan muka dari Rere. Rere pun sudah tak terdengar lagi merayuku. Dan saat aku menoleh kearahnya, aku terkejut melihat Rere yang menangis tersedu-sedu di belakangku. "Adu....h, aku kok malah membuat Rere menangis sih" fikirku. "Jangan nangis re, aku tadi bercanda kok tidak marah betulan" ucapku mencoba untuk menenangkannya. Dengan bersedu-sedu Rere berkata "bener hkhkhk kamu gak marah? hkhkk". Wajahnya kian memerah dan air matanya tak henti-hentinya mengalir. Ku usap air matanya dan berkata "beneran, apa mungkin aku bisa marah kepada bidadariku yang imut ini". Rere memandangku sejenak dan langsung memeluk erat diriku. Ku belai lembut rambut indahnya dan berkata "udah jangan nangis lagi ya!!!" pintaku. Rere pun perlahan melepas pelukannya dan berkata "kamu harus janji dulu padaku, kamu jangan kaya gitu lagi" pintanya. "Aku gak kuat git jika kamu marah sama aku" sambungnya. "Iya aku janji , udah jangan nangis lagi ya" ucapku. "Oh iya, kamu tadi kan belum menjawab pertanyaanku" sambungku. Dengan wajah yang di basahi air mata ia menjawab "aku tadi mencari bunga tulip git". "Oh....tadi aku juga menemukan bunga tulip di sini" ucapku sambil menunjukkan bunga tulipku. "Ini bungaku git, sengaja aku tinggal di sini agar kamu menungguku" jelasnya. "Dan ini bunga yang barusan aku petik, cantik ya git" sambungnya sambil menunjukkan bunga tulipnya.
"Sekarang....kita sudah memegang bunga tulipnya sendiri" tuturnya. "Terus bunga tulip ini mau kita apain???" tanyaku heran. Dengan tersenyum Rere berkata "lihat di sana git "ucapnya sambil menunjuk ke arah mentari yang mulai menyembunyikan wujudnya. Pandanganku pun tertuju ke arah yang di tunjukkan Rere. "Indah banget ya git" ucapnya sekali lagi. "Iya indah banget" jawabku yang seketika membuat wajah Rere memerah. Ia memegang telapak tanganku dan terus melihat seksama matahari terbenam itu. "Kalau aku sedang memandang matahari terbenam seperti ini, aku sering membayangkan tentang masa depan kita" tuturnya. "Dimana kita memandang senja bersama anak-anak kita nanti, pasti indah banget ya git" jelasnya.
Aku pun terkejut mendengar apa yang barusan dikatan oleh Rere. "Maksut kamu apa re????" tanyaku. Rere tersenyum memandangku dan ia berkata "iya masa depan kita git, kamu mau kan menikah denganku" ajaknya. "Aku tidak bisa re!!!!" jawabku bersamaan dengan mentari yang terbenam dengan sempurna. Rere terlihat begitu kecewa mendengar ucapanku dan air matanya pun mulai mengalir lagi dari bola matanya. "Kenapa git, apa kamu sudah tidak mencitaiku lagi, apa sudah ada cewek lain ya" ucapnya kecewa. "Kamu jahat git, kamu tega sama aku, kenapa kita pertahankan hubungan kita ini lebih baik kit....". Dengan cepat aku memotong pembicaraannya dengan menutup mulutnya dengan jari telunjukku. "Aku tidak bisa re....aku tidak bisa menerima ajakanmu" jawabku. "Karena aku sendiri yang akan meminangmu re, malam nanti....aku dan keluargaku akan datang melamarmu, kamu mau kan menjadi kekasih halalku?" jelasku.
Mendengar hal itu, Rere hanya terdiam memandangku. Dengan air mata yang semakin deras mengalir ia mengangguk pelan. Dan aku pun memeluk erat Rere "Re, jangan kau tunjukan satu hal padaku, yaitu tangismu dan jangan kau perdengarkan aku lirih tangismu, karena aku tak berdaya jika kau lakukan itu" ucapku. "Aku tahu apa alasannya kamu suka bunga tulip, pasti kamu ingin cinta kita seindah bunga tulip kan" sambungku. "Dan aku juga tahu alasan kamu mengajakku bertemu di waktu senja, pasti kamu ingin mengakhiri masa pacaran kita kan dan mengantinya dengan ikatan pernikahan seperti senja yang mengganti matahari menjadi rembulan, sama indahnya bukan" jelasku. Rere perlahan melepas pelukanku dan dengan sigap ia mengusap air matanya sendiri. "Senja bukanlah akhir git, karena selalu berulang di setiap harinya" tuturnya. "Bunga tulip juga bukanlah lambang keindahan, tetapi lambang keabadian" sambungnya. "Aku ingin cinta kita seperti bunga tulip menjemput senja, yang berjalan abadi menyusuri takdir dan tak pernah berakhir karena kan selalu terulang ke generasi kita yang berikutnya" jelasnya.
Mendengar ucapan Rere itu, aku tak mampu lagi berkata apa-apa. Aku tak menyangka, seorang Rere yang manja bisa berbicara dengan begitu bijaknya. Tanpa berfikir panjang aku langsung memelunya dengan erat. Dan seakan-akan aku tak ingin ke hilangan sosok bidadari yang ada di hadapanku. "Re....aku sayang banget sama kamu" bisikku ke telinga Rere. "Aku juga sangat menyayangimu git" balasnya dengan lembut. Ku pandang wajahnya sejenak, dan ku daratkan ciumanku di keningnya. Dan kami pun pulang dengan perasaan yang bahagia.
"Bunga tulip hanyalah sebuah bunga, tidak dapat mewakili kebahagiaan atau pun keabadian. Karena kebahagiaan dan keabadian dapat tercipta jika kita bersama orang yang kita cintai"
(Sigit Wisnu Saputro)
(Sang Pangeran Marmut)